Perkenalan: Jeda dari Layar, Mulai Menikmati Kota Bandung
Coba bayangkan ini: kamu sedang di Bandung, tapi nggak ada notifikasi masuk, nggak ada Google Maps, dan nggak ada filter Instagram. Itulah kehidupan di tahun 90-an. Era ini menawarkan cara yang jauh lebih intim dan terhubung untuk Menikmati Kota Bandung. Jauh dari hiruk pikuk digital, orang jaman dulu benar-benar merasakan setiap momennya.
Bandung di era 90-an adalah perpaduan unik antara suasana kota besar yang sedang berkembang dan ketenangan khas Paris van Java. Kamu harus mengandalkan petunjuk arah lisan, peta kertas, dan insting untuk menemukan tempat-tempat keren. Pengalaman traveling jadi petualangan sejati, bukan sekadar checklist yang harus diunggah di media sosial. Mau tahu gimana serunya traveling di Kota Kembang tanpa gawai canggih? Yuk, kita bedah satu per satu!
1. Mencari Hiburan dengan Walkman dan Telepon Umum
Komunikasi di era 90-an jelas berbeda. Kalau sekarang kamu bisa video call atau live update, dulu kamu harus mengandalkan telepon umum atau kartu pos. Menikmati Kota Bandung di masa itu artinya kamu harus menyusun janji temu dengan pasti. Nggak ada kata “Otw” atau “Share Location.”
Musik juga menjadi teman setia. Kamu akan melihat banyak orang berjalan-jalan sambil mendengarkan musik dari Walkman atau Discman mereka. Suasana kota menjadi soundtrack pribadimu, bukan melalui earphone wireless. Begitu menemukan tempat yang menarik, kamu harus benar-benar mengingatnya atau mencatat alamatnya, karena nggak ada fitur “Simpan Lokasi” di ponsel. Handphone saat itu, yang ukurannya sebesar bata, hanya dipakai untuk telepon darurat, bukan buat foto selfie.
2. Eksplorasi Pusat Kota: Shopping di Cihampelas dan Nongkrong Legendaris
Jantung hiburan Bandung di era 90-an adalah kawasan Cihampelas dan Dago. Cihampelas terkenal dengan patung-patung superhero raksasa di depan tokonya, menjadi spot foto paling hits (tentu saja menggunakan kamera saku dengan film yang terbatas). Belanja di sini terasa spesial karena benar-benar harus memilih, bukan sekadar scroll katalog.
Selain belanja, Menikmati Kota Bandung juga wajib dengan nongkrong di kafe atau toko roti legendaris. Tempat-tempat ini menjadi titik temu, tempat kamu bergosip, membaca buku, atau sekadar melihat lalu lalang orang. Kebanyakan orang datang dan bertemu tanpa harus saling kontak di dunia maya. Semua serba tatap muka, jadi interaksi terasa lebih hangat dan nyata.
3. Kulineran Sejati: Mencari Rasa Lewat Rekomendasi Mulut ke Mulut
Sebelum ada aplikasi review makanan, cara terbaik untuk menemukan kuliner enak adalah bertanya langsung ke penduduk lokal. Rekomendasi dari mulut ke mulut adalah mata uang yang paling berharga. Jadi, ketika kamu menemukan warung bakso tersembunyi yang enak banget, itu rasanya seperti menemukan harta karun.
Kuliner Bandung saat itu didominasi oleh jajanan kaki lima yang sederhana tapi berkesan. Makanan hits bukan karena viral di media sosial, tapi karena rasanya memang autentik dan sudah bertahan puluhan tahun. Contohnya, Bolen, kudapan berlapis pisang yang sudah ada sejak era kolonial dan tetap jadi primadona. Kamu bisa coba varian modern yang legendaris, seperti Bolen Pisang 5 Rasa dari Mayasari Bakery, untuk mencicipi sepotong sejarah kuliner Bandung di sini: https://mayasaribakery.com/collections/best-seller.
4. Healing Alam: Berburu Pemandangan Tanpa Upload
Bandung punya alam yang indah, dan di era 90-an, menikmati Kota Bandung juga berarti menikmati udaranya yang sejuk tanpa gangguan. Destinasi seperti Tangkuban Perahu, Ciwidey, atau kawasan Lembang adalah pelarian wajib. Perjalanan ke sana pun merupakan bagian dari petualangan. Kamu harus siap tersesat sedikit dan bertanya arah.
Ketika kamu mencapai puncak atau menemukan pemandangan indah, yang kamu lakukan adalah benar-benar melihatnya, bukan segera mengambil foto 100 kali. Kamu membeli film kamera seharga ratusan ribu, jadi kamu akan sangat selektif dalam mengambil gambar. Hasil fotonya pun harus ditunggu dicetak, menambah elemen kejutan dan kenangan. Pengalaman menikmati alam jadi murni tanpa tuntutan untuk pamer.
5. Membawa Pulang Kenangan: Oleh-Oleh Wajib Kota Kembang
Di akhir liburan, tradisi membawa oleh-oleh adalah ritual wajib yang penuh makna. Oleh-oleh bukan cuma makanan, tapi juga bukti bahwa kamu benar-benar pergi ke Bandung. Kue atau makanan yang bisa tahan lama selalu jadi pilihan utama.
Selain Bolen, oleh-oleh populer lainnya termasuk peyeum (tapai), keripik tempe, atau dodol. Semua itu dibeli langsung di toko fisiknya, di mana kamu bisa mencicipi dan berinteraksi langsung dengan penjual. Momen ini adalah penutup manis, di mana kamu membagikan sepotong kecil pengalaman Menikmati Kota Bandung kepada orang-orang terdekatmu.
Tanya Jawab (FAQ)
Q: Apa media hiburan utama di perjalanan Bandung tahun 90-an? A: Media hiburan utamanya adalah Walkman atau Discman dengan kaset atau CD. Selain itu, membaca buku atau komik adalah teman setia di mobil atau kereta.
Q: Bagaimana cara janjian tanpa smartphone? A: Biasanya, janji dibuat secara spesifik (hari, jam, dan lokasi) sehari sebelumnya melalui telepon rumah atau surat, atau menggunakan pager. Jika meleset, kamu harus menunggu di lokasi yang disepakati.
Q: Apakah Bandung macet di tahun 90-an? A: Tingkat kemacetan memang belum separah sekarang, tapi jalanan padat tetap terjadi, terutama di pusat kota seperti Dago dan Asia Afrika.
Kesimpulan
Era 90-an menawarkan cara unik untuk Menikmati Kota Bandung. Ini adalah era di mana koneksi manusia lebih penting daripada koneksi internet, dan petualangan sejati dimulai tanpa panduan digital. Walaupun zaman sudah berubah, semangat kota ini—kehangatan, kreativitas, dan kekayaan kulinernya—tetap abadi. Kalau kamu ingin merasakan lagi esensi healing yang sesungguhnya, cobalah singkirkan smartphone sebentar dan nikmati Bandung dengan cara old school!




